ETIKA BISNIS
TUGAS UTS ELINA NAROTAMA
MOCH. RISAL ASRORI /01217011
MANAJEMEN B
SOAL :
Sebutkan dan ulaslah secara
singkat sedikitnya 5 kasus pelanggaran etika bisnis selama tahun 2019 - 2020 di
Indonesia.
(Apa kasusnya, siapa pelaku yang
melanggar & siapa yang dirugikan, apa jenis pelanggarannya dan ulasan dasar
hukum pelanggarannya, bagaimana yang seharusnya )
1. Jawaban dikirimkan paling lambat hari KAMIS tanggal 12
November 2020 jam 24.00 wib. Dengan kode uts etbis B/gasal 2020
2. Jawaban diunggah ke blog mahasiswa
3. Di kirim ke email dosen dan sertakan nama+nim+kelas
+alamat blog mahasiswa.
4. SERTAKAN JUGA ALAMAT TUGAS TUGAS LAIN YANG TELAH
TERUNGGAH DI BLOG MAHASISWA
JAWAB :
Berdasarakan pada soal diatas,maka ditemukan studi kasus
sebagai berikut :
1. STUDI
KASUS 1
PT APL Banjar PHK Sepihak Karyawan
Penulis Redaksi
-22 Mei 201901056
Berbagi di
Facebook Tweet di Twitter
Modusinvestigasi.com
| Banjar | Team KMI
Salah satu
contoh kasus tentang pelanggaran etika adalah kasus PHK sepihak yang menimpa
Bapak Roestomo, PT APL industri kayu telah bekerja selama 17
tahun sebagai security di PT APL secara terus menerus tanpa putus, namun dia
tidak diakui sebagai karyawan tetap oleh perusahaan tersebut.
Pada tanggal
3/03/2019, perusahaan/ kepala personalia ,sebut saja (SM) melakukan
pemutusan/pengakhiran hubungan kerja (PHK) terhadap Roestomo tanpa
pemberitahuan, tanpa alasan, tanpa adanya kesalahan, dan tanpa adanya penetapan
dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bukan hanya itu,
Roestomo disuruh bikin verklaring tanggal 03/2018. s/d 03/2019 berarti 1 Tahun
, yang seharusnya, ( 2002 s/d 2019 ). Roestomo bekerja selama 12 jam, di bayar
hanya 8 jam ,kemudian waktu yang 4 jam
itu di kemanakan ?. Bapak Roestomo mau di kasih pesangon Rp 3,9 juta, bahkan di
berhentikan juga sama personalia ,” tandasnya.
Artikel : http://modusinvestigasi.com/pt-apl-banjar-phk-sepihak-karyawan/
Berdasarkan studi
kasus diatas, dapat disimpulkan beberapa informasi sebagai berikut :
1.
Apa pelanggaran etika yang terjadi : PT APL Banjar PHK Sepihak Karyawan
2.
Siapa pelaku pelanggaran : PT APL Banjar
3.
Siapa yang dirugikan : Pihak Karyawan
4.
Jenis Pelanggaran : Pelanggaran etika terhadap hak-
hak karyawan
5.
Dasar Hukum Pelanggaran :
Pemberhentian
secara Sepihak
Jika Anda merupakan pegawai tetap berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”), maka mengenai pemutusan
hubungan kerja (“PHK”) mekanismenya diatur dalam Pasal 161 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”). Syarat untuk melakukan PHK, yaitu:
Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja,
setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan
pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
Pada dasarnya melalui Pasal 151 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan telah disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan
agar jangan terjadi PHK.
Jika PHK tidak bisa dihindarkan, tetap wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Melihat hal tersebut, berarti PHK harus dilakukan
melalui perundingan terlebih dahulu. Barulah apabila hasil perundingan tersebut
tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Adapun lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang dimaksud adalah mediasi hubungan industrial, konsiliasi
hubungan industrial, arbitrase hubungan industrial dan pengadilan hubungan
industrial.
Di Pasal 155 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan
jika PHK tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan
industrial akan menjadi batal demi
hukum. Artinya, PHK sepihak tersebut dianggap tidak pernah terjadi dan selama
putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan,
baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
Jika melihat ke dalam kasus Anda, terhadap tindakan
perusahaan memutuskan sepihak, berarti demi hukum Anda masih menjadi pegawai
perusahaan tersebut. Anda tetap harus bekerja dan perusahaan tetap harus
membayarkan upah Anda selama belum ada keputusan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Sedangkan, Jika Anda pekerja kontrak berdasarkan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”), maka apabila salah satu pihak mengakhiri
hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT,
atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pihak yang mengakhiri hubungan
kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah
pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Menurut Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan perjanjian
kerja berakhir apabila:
pekerja meninggal dunia;
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (untuk
PKWT);
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Jika perusahaan melakukan PHK secara
sepihak/sewenang-wenang, maka langkah yang dapat ditempuh adalah melaporkan
tindakan perusahaan kepada instansi ketenagakerjaan pada pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota karena merupakan pengawas
ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Apabila tidak menemukan penyelesaian yang baik,
barulah kemudian Anda dapat menempuh langkah dengan memperkarakan PHK yang
sewenang-wenang ke pengadilan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (“UU PPHI”).
6.
Hal yang seharusnya di lakukan :
Berdasarkan pada kasus diatas, seharusnya PHK secara
sepihak tidak dilakukan. Jikalaupun harus terjadi maka harus terdapat negosiasi
keduah belah pihak anatara perusahaan dengan karyawan. Dan jika hasil
perundingan, mengharuskan karyawan mengalami phk maka perusahaan harus mampu
memenuhi segala kewajiban seperti memberikan tunjangan PHK, pesangon, dsb. Karna
jika hal tersebut dilanggar, maka akan berakibat pada pelanggaran
prinsip-prinsip etika bisnis yang ada seperti :
1.
prinsip keadilan
dalam hal ini dalam kegiatan bisnis semua pihak yang
terlibat dalam bisnis yang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama
sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan prinsip etika bisnis ini, semua pihak
yang terlibat harus berkontribusi pada keberhasilan bisnis yang dilakukan, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Prinsip keadilan mendorong semua pihak
agar dapat terlibat dalam bisnis, baik hubungan internal maupun hubungan
eksternal. Setiap pihak akan menerima perlakuan yang sama sesuai dengan haknya
masing-masing. Sementara dalam kasus ini hak-hak karyawan tidak dipenuhi
semestinya.
2.
Prinsip Saling Menguntungkan
Prinsip saling menguntungkan berarti bahwa kegiatan bisnis
yang dilakukan harus dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Sementara dalam
hal ini terjadi keputusan secara sepihak, sehingga karyawan yang mengalami
dampanya.
Dan adapun
pelanggaran ini dapat berakibat pada penurunan citra perusahaan, kehilangan
kepercayaan perusahaan terhadap konsumen, hingga dapat berakibat pada sanksi
denda serta dapat berujung pada penutupan usaha.
2. STUDI
KASUS 2
Pelanggaran Pabrik Korek Api di Binjai, Dari Pekerja Bawah Umur Hingga
Tak Ada Pintu Belakang
Menteri
Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengatakan enam pelanggaran itu menjadi
pijakan pengawas untuk menyelesaikan kasus ketenagakerjaan di perusahaan
tersebut.
Bisnis.com,
JAKARTA —Tim gabungan pengawas ketenagakerjaan menemukan enam pelangaran
ketenagakerjaan di pabrik korek api milik PT Kiat Unggul, yang terbakar pada
Jumat lalu.
Tim pusat dan
daerah tersebut sudah menyelesaikan investigasi tahap awal di pabrik yang
berlokasi Desa Sabirejo, Binjai, Langkat, Sumatra Utara tersebut. Menteri
Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengatakan enam pelanggaran itu menjadi
pijakan pengawas untuk menyelesaikan kasus ketenagakerjaan di perusahaan
tersebut. Tiap pelanggaran, tegasnya, harus ditindak.
Pertama,
perusahaan tidak memberikan perlindungan kepada pekerja terkait kesejahteraan,
keselamatan dan kesehatan baik mental maupun fisik. Kedua, didapati perusahaan
mempekerjakan pekerja anak atas nama Rina umur 15 tahun.
Ketiga,
perusahaan belum membuat wajib lapor ketenagakerjaan untuk lokasi kejadian.
Diketahui, pabrik tersebut merupakan cabang dari PT Kiat Unggul yang berada di
Jalan Medan—Binjai KM 15,7, Kabupaten Deliserdang.
Perusahaan tidak
melaporkan keberadaan cabang perusahaan tersebut kepada Dinas Ketenagakerjaan,
sehingga keberadaannya tak tercatat oleh Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera
Utara. Perusahaan masuk kategori ilegal.
Keempat,
perusahaan membayar upah tenaga kerja lebih rendah dari ketentuan upah minimum
Kabupaten Langkat. Kelima, perusahaan belum mengikut sertakan pekerjanya dalam
program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS
Kesehatan.
Keenam,
perusahaan belum melaksanakan sepenuhnya syarat-syarat Keselamatan Kesehatan
Kerja (K3). Dari olah tempat kejadian perkara, diketahui sumber api berasal
dari pintu belakang yang menjadi akses keluar masuk pekerja, sedangkan pintu
depan terkunci sehingga saat terjadi kebakaran para pekerja tak bisa keluar
menyelamatkan diri karena tidak ada jalur evakuasi.
Perusahaan juga
tidak memiliki alat pemadam kebakaran dan sirkulasi udara yang memenuhi syarat.
Pabrik tidak dilengkapi fasilitas pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K),
tidak tersedia alat pelindung diri (APD), serta berbagai pelanggaran lain.
Secara terpisah,
Pelaksana Harian Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(PNK3), Amarudin mengatakan, dari 30 korban meninggal, hanya satu pekerja yang
telah terdaftar BPJS Ketenagakerjaan yakni atas nama Gusliana. Ahli waris akan
mendapatkan santunan kecelakaan kerja dari BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp150,4
juta.
Untuk santunan
ahli waris pekerja yang belum terdaftar BPJS Ketenagakerjaan, Dinas Tenaga
Kerja Sumatra Utara akan membuat penetapan yang menyatakan para korban sebagai
korban kecelakaan kerja, agar ahli waris korban mendapatkan santunan kecelakaan
kerja sesuai ketentuan yang berlaku. Kebakaran pabrik mengakibatkan 30 orang
meninggal dunia. Mereka terdiri dari 24 pekerja borongan termasuk di dalamnya
seorang pekerja anak atas nama Rina (15 tahun), lima anak sebagai pekerja borongan
serta seorang adik pekerja yang sedang berkunjung ke pabrik tersebut. Terdapat
empat pekerja yang selamat dari insiden tersebut.
Berdasarkan studi
kasus diatas, dapat disimpulkan beberapa informasi sebagai berikut :
1.
Apa pelanggaran etika yang terjadi : Pelanggaran Pabrik Korek Api di Binjai, Dari
Pekerja Bawah Umur Hingga Tak Ada Pintu Belakang
2.
Siapa pelaku pelanggaran : pabrik korek api milik PT Kiat Unggul
3.
Siapa yang dirugikan : Pihak Karyawan
4.
Jenis Pelanggaran : Pelanggaran etika terhadap hak
karyawan seperti tidak diberikannya jaminan asuransi kerja, pekerja dibawah
umur, design bangunan yang tidak memadai, dan tidak lengkapnya surat perijinan
usaha.
5.
Dasar Hukum Pelanggaran :
Undang-undang Ketenagakerjaan pasal 68 menegaskan
bahwa Pengusaha dilarang memperkerjakan anak dibawah umur, yang berdasarkan
ketentuan adalah anak yang usianya dibawah 18 tahun. Ancaman bagi pengusaha
atau perusahaan yang masih mempekerjakan anak yang belum berusia 18 tahun
adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 400 juta. Sehingga
jelas mempekerjakan anak di bawah umur dapat dipidana.
Menurut Pasal 108 ayat (1) UUK, pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh minimal 10 orang wajib membuat PP. PP tersebut berlaku setelah
disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk. Namun, kewajiban membuat PP tidak berlaku bagi perusahaan yang
telah memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Hal tersebut sesuai dengan Pasal
108 ayat (2) UUK. Bagi yang melanggar, sanksinya tidak ringan. Menurut Pasal
188 UUK, Perusahaan yang tidak memiliki PP akan dikenakan sanksi pidana berupa
denda antara Rp5 juta sampai Rp50 juta. Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak
pidana pelanggaran.
Di sisi lain, pembuatan PP tidak boleh sembarangan,
terdapat ketentuan yang harus dipenuhi. Menurut
Pasal 109 UUK, PP dibuat dan dipertanggungjawabkan oleh pengusaha dengan
mempertimbangkan saran/pertimbangan dari wakil pekerja/buruh. Menurut Pasal 110
UUK, jika sudah terbentuk serikat pekerja/buruh, maka yang mewakili adalah
pengurus serikat tersebut. Jika serikat belum terbentuk, maka yang mewakili
adalah pekerja/buruh yang terpilih secara demokratis.
Menurut Pasal 111 UUK, PP minimal harus memuat: hak
dan kewajiban pengusaha ; hak dan kewajiban pekerja/buruh; syarat kerja; tata
tertib perusahaan; dan jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
6.
Seharusnya :
Berdasarkan dari studi kasus diatas ada beberapa hal
yang harus di patuhi :
-
Pengurusan perizinan usaha baik pendirian
perusahaan baru maupun pembukaan cabang
-
Pembuatan peraturan perusahaan yang sesuai
dengan uu ketenagakerjaan yang ada.
-
Tidak memperkerjakan karyawan dibawah umur.
-
Mendirikan perusahaan sesuai prosedur amdal yang
ada.
Jika tidak di
patuhi beberapa poin yang telah saya sebutkan. Maka dapat berakibat pada
penutupan perusahaan serta pencabutan izin usaha karna sudah tidak sesuai dengan
s.o.p / peraturan UU yang ada dan juga sebagai pelanggaran prinsip – prinsip etika
bisnis seperti prinsip kejujuran, prinsip saling menguntungkan, prinsip
keadilan.
3. STUDI
KASUS 3
Pelanggaran
Etika yang Dilakukan Uniqlo Terhadap Pekerjanya
7
April 2019 22:07 Diperbarui: 7 April
2019 22:55 10680
0 0
Pelanggaran
etika yang dilakukan Uniqlo terhadap pekerjanya
Akhir akhir ini
terjadi pelanggaran etika yang di lakukan oleh perusahaan terhadap pekerjanya.
Selain pelanggaran yang berpengaruh kepada lingkungan yaitu pembuangan limbah
sisa-sisa produksi yang di buang sembarangan, dan hasil gas pembuangan yang
menyebabkan polusi udara yang menimbulkan bau yang tidak sedap, terjadi pula pelanggaran-pelanggaran etika
yang di lakukan oleh perusahaan seperti pemutusan kontrak secara sepihak terhadap
karyawan dan tidak di bayarkanya gaji karyawan yang sudah menjadi haknya dalam
bekerja.
Perusahaan fast
retailing ini merupakan perusahaan brand pakaian yang terkenal di Indonesia
maupun di dunia, nama perusahaanya adalah UNIQLO. Uniqlo adalah perusahaan yang
berasal dari Jepang yang bergerak pada bidang perencanaan produk, produksi, dan
distribusi pakaian kasual. Uniqlo merupakan singkatan dari Unique Clothing yang
di dirikan oleh seorang pengusaha yang bernama Tadashi Yanai pada 7 Februari
1949. Perusaahan ini sudah sangat lama menekuni di bidang pakaian yang sudah
terbukti menghasilkan produk-produk yang berkualitas terbaik, selain itu
perusahaan ini selalu menghadirkan inovasi-inovasi terbaru yang banyak disukai
oleh para konsumennya. Karena hal itulah Uniqlo menjadi brand pakaian yang sangat
besar di dunia.
Namun, pada
akhir akhir ini terdengar kasus yang sangat kurang mengenakan yang dilakukan
oleh perusahaan fashion tersebut. Pelanggaran itu adalah pemutusan hubungan
kerja secara sepihak tanpa adanya informasi yang di berikan oleh pihak
perusahaan kepada para pekerjanya. Selain itu mereka juga tidak membayarkan
gaji dan tidak memberikan pesangon kepada para pekerjanya yang telah di putus
kontrak kerjanya. Pemutusan kontrak terjadi terhadap sekitar 2000 orang yang
mayoritas adalah pekerja perempuan setelah penutupan pabrik Jaba Garmindo yang sangat mendadak
pada tahun 2015. Jaba Garmanindo adalah pemasok utama pada Uniqlo, menurut
Clean Clothes yang di kutip dari situs viva.co.id baru -- baru ini.
Dampak dari
pemutusan kontrak secara sepihak tersebut juga di alami oleh pekerja yang
berasal dari Indonesia yaitu Warni dan Yayat. Keduanya merupakan pekerja dari
Jaba Garmindo yang tidak membayarkan gaji karyawannya karena adanya pemutusan
kontrak oleh Uniqlo. Para pekerja tersebut menuntut kepada Uniqlo agar
memberikan kejelasan terhadap gaji yang tidak di bayarkan kepada para
pekerjanya. Warni dan Yayat melakukan demo Bersama perkerja lainya yang juga
terkena pemutusan kontrak tersebut di depan toko Uniqlo yang akan dibuka di
Denmark. Rencananya pembukaan itu yang rencanya akan di hadiri oleh pendiri
dari Uniqlo yaitu Tadashi Yanai dan
mereka akan menuntut untuk di bayarkan gaji yang tidak diberikan oleh
perusahaan tersebut. Namun pihak Uniqlo tetap masih menolak untuk
membayarkannya.
Melihat kasus
yang terjadi pada Uniqlo, semestinya mereka tidak melakukan pelanggaran etika
tersebut yang sudah sangat melukai banyak pekerjanya. Selain perusahaan yang
tidak melakukan pelanggaran terhadap pekerja dan lebih memperhatikan hak-hak
pekerjanya, pemerintah juga harus ikut andil dalam kasus-kasus yang melanggar
hak pekerjanya. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu membuat
peraturan yang menjadi jaminan agar para pekerja merasa aman. Dan juga
pemerintah melakukan tindakan-tindakan terhadap perusahaan yang melakukan
pelanggaran terhadap pekerja dengan memberikan sanksi atau pun bahkan bisa
mencabut izin perusahaan tersebut.
Berdasarkan studi
kasus diatas, dapat disimpulkan beberapa informasi sebagai berikut :
1.
Apa pelanggaran etika yang terjadi : Pelanggaran Etika yang Dilakukan Uniqlo
Terhadap Pekerjanya
2.
Siapa pelaku pelanggaran : PT. Uniqlo
3.
Siapa yang dirugikan : Pihak Karyawan
4.
Jenis Pelanggaran : Pelanggaran etika terhadap hak-
hak karyawan
5.
Dasar Hukum Pelanggaran :
Pemberhentian
secara Sepihak
Jika Anda merupakan pegawai tetap berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”), maka mengenai pemutusan
hubungan kerja (“PHK”) mekanismenya diatur dalam Pasal 161 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”). Syarat untuk melakukan PHK, yaitu:
Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja,
setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan
pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
Pada dasarnya melalui Pasal 151 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan telah disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan
agar jangan terjadi PHK.
Jika PHK tidak bisa dihindarkan, tetap wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Melihat hal tersebut, berarti PHK harus dilakukan
melalui perundingan terlebih dahulu. Barulah apabila hasil perundingan tersebut
tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Adapun lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang dimaksud adalah mediasi hubungan industrial, konsiliasi
hubungan industrial, arbitrase hubungan industrial dan pengadilan hubungan
industrial.
Di Pasal 155 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan
jika PHK tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan
industrial akan menjadi batal demi
hukum. Artinya, PHK sepihak tersebut dianggap tidak pernah terjadi dan selama
putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan,
baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
Jika melihat ke dalam kasus Anda, terhadap tindakan
perusahaan memutuskan sepihak, berarti demi hukum Anda masih menjadi pegawai
perusahaan tersebut. Anda tetap harus bekerja dan perusahaan tetap harus
membayarkan upah Anda selama belum ada keputusan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Sedangkan, Jika Anda pekerja kontrak berdasarkan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”), maka apabila salah satu pihak mengakhiri
hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT,
atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pihak yang mengakhiri hubungan
kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah
pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Menurut Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan perjanjian
kerja berakhir apabila:
pekerja meninggal dunia;
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (untuk
PKWT);
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Jika perusahaan melakukan PHK secara
sepihak/sewenang-wenang, maka langkah yang dapat ditempuh adalah melaporkan
tindakan perusahaan kepada instansi ketenagakerjaan pada pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota karena merupakan pengawas
ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Apabila tidak menemukan penyelesaian yang baik,
barulah kemudian Anda dapat menempuh langkah dengan memperkarakan PHK yang
sewenang-wenang ke pengadilan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (“UU PPHI”).
6.
Hal yang seharusnya di lakukan :
Berdasarkan pada kasus diatas, seharusnya PHK secara
sepihak tidak dilakukan. Jikalaupun harus terjadi maka harus terdapat negosiasi
keduah belah pihak anatara perusahaan dengan karyawan. Dan jika hasil
perundingan, mengharuskan karyawan mengalami phk maka perusahaan harus mampu
memenuhi segala kewajiban seperti memberikan tunjangan PHK, pesangon, dsb. Karna
jika hal tersebut dilanggar, maka akan berakibat pada pelanggaran
prinsip-prinsip etika bisnis yang ada seperti :
3.
prinsip keadilan
dalam hal ini dalam kegiatan bisnis semua pihak yang
terlibat dalam bisnis yang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama
sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan prinsip etika bisnis ini, semua pihak
yang terlibat harus berkontribusi pada keberhasilan bisnis yang dilakukan, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Prinsip keadilan mendorong semua pihak
agar dapat terlibat dalam bisnis, baik hubungan internal maupun hubungan
eksternal. Setiap pihak akan menerima perlakuan yang sama sesuai dengan haknya
masing-masing. Sementara dalam kasus ini hak-hak karyawan tidak dipenuhi
semestinya.
4.
Prinsip Saling Menguntungkan
Prinsip saling menguntungkan berarti bahwa kegiatan bisnis
yang dilakukan harus dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Sementara dalam
hal ini terjadi keputusan secara sepihak, sehingga karyawan yang mengalami
dampanya.
Dan adapun
pelanggaran ini dapat berakibat pada penurunan citra perusahaan, kehilangan
kepercayaan perusahaan terhadap konsumen, hingga dapat berakibat pada sanksi
denda serta dapat berujung pada penutupan usaha.
4. STUDI
KASUS 4
Ratusan Orang Kena PHK Pabrik Aice,
Ternyata Ada Pelanggaran
NEWS - Ferry Sandi, CNBC Indonesia 11 March
2020 12:55
Kemenaker
mengakui ada pelanggaran dalam sengketa hubungan industrial di pabrik Aice.
Jakarta, CNBC
Indonesia - Kasus sengketa hubungan
industrial termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK) ratusan pekerja PT. Alpen
Food Industry (AFI), produsen es krim Aice akhirnya diinvestigasi kementerian
ketenagakerjaan (Kemenaker).
Menteri
Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah telah mengirimkan tim khusus pengawas
ketenagakerjaan untuk melakukan pemeriksaan atau investigasi terhadap PT. Alpen
Food Industry (AFI), perusahaan yang memproduksi es krim AICE yang berlokasi di
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Hasilnya memang ada pelanggaran.
Plt. Dirjen
Pembinaan pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PPK
dan K3) Iswandi Hari sebelumnya
menanggapi adanya laporan dan informasi pengaduan terkait perusahaan PT AFI
dari serikat pekerja/buruh maupun dari masyarakat. Ia bilang berdasarkan
laporan dari tim pengawas ketenagakerjaan, diinformasikan sementara ini bahwa
ada tenaga kerja sekitar 1.206 orang di antaranya terdapat pekerja perempuan.
"Kita temukan beberapa pelanggaran yang harus diperbaiki", kata Iswandi,
dalam pernyataan resminya, dikutip Rabu (11/3) Menurutnya tim khusus ini terus
melakukan pendalaman, pemeriksaan berkas, dan permintaan keterangan dari
Pengusaha/pengurus perusahaan, pekerja dan anggota SP/SB terdapat temuan yang
melanggar ketentuan.
"Segera
akan ditindaklanjuti, baik melalui nota pemeriksaan dan tahapan penyidikan.
Termasuk kemungkinan diberikan sanksi tegas," kata Iswandi. Para buruh PT
AFI mengaku mengalami banyak hal yang
memprihatinkan selama proses bekerja. Juru bicara Juru bicara Federasi Serikat
Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) yang menaungi ratusan buruh perusahaan
itu, Sarinah menyebut, banyak kasus yang mendera para buruh.
Di antaranya
buruh hamil yang masih diminta bekerja pada malam hari hingga pemutusan
hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh pihak perusahaan. Aksi mogok tersebut
dilakukan pada 21-28 Februari 2020 lalu untuk protes dugaan pelanggaran manajemen.
Berdasarkan studi
kasus diatas, dapat disimpulkan beberapa informasi sebagai berikut :
1.
Apa pelanggaran etika yang terjadi : Pelanggaran Etika yang Dilakukan PT AFI
Terhadap Pekerjanya
2.
Siapa pelaku pelanggaran : PT. AFI
3.
Siapa yang dirugikan : Pihak Karyawan
4.
Jenis Pelanggaran : Pelanggaran etika terhadap hak-
hak karyawan
5.
Dasar Hukum Pelanggaran :
Pemberhentian
secara Sepihak
Jika Anda merupakan pegawai tetap berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”), maka mengenai pemutusan
hubungan kerja (“PHK”) mekanismenya diatur dalam Pasal 161 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”). Syarat untuk melakukan PHK, yaitu:
Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja,
setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan
pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
Pada dasarnya melalui Pasal 151 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan telah disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan
agar jangan terjadi PHK.
Jika PHK tidak bisa dihindarkan, tetap wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Melihat hal tersebut, berarti PHK harus dilakukan
melalui perundingan terlebih dahulu. Barulah apabila hasil perundingan tersebut
tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Adapun lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang dimaksud adalah mediasi hubungan industrial, konsiliasi
hubungan industrial, arbitrase hubungan industrial dan pengadilan hubungan
industrial.
Di Pasal 155 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan
jika PHK tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan
industrial akan menjadi batal demi
hukum. Artinya, PHK sepihak tersebut dianggap tidak pernah terjadi dan selama
putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan,
baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
Jika melihat ke dalam kasus Anda, terhadap tindakan
perusahaan memutuskan sepihak, berarti demi hukum Anda masih menjadi pegawai
perusahaan tersebut. Anda tetap harus bekerja dan perusahaan tetap harus
membayarkan upah Anda selama belum ada keputusan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Sedangkan, Jika Anda pekerja kontrak berdasarkan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”), maka apabila salah satu pihak mengakhiri
hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT,
atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pihak yang mengakhiri hubungan
kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah
pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Menurut Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan perjanjian
kerja berakhir apabila:
pekerja meninggal dunia;
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (untuk
PKWT);
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Jika perusahaan melakukan PHK secara
sepihak/sewenang-wenang, maka langkah yang dapat ditempuh adalah melaporkan
tindakan perusahaan kepada instansi ketenagakerjaan pada pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota karena merupakan pengawas
ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Apabila tidak menemukan penyelesaian yang baik,
barulah kemudian Anda dapat menempuh langkah dengan memperkarakan PHK yang
sewenang-wenang ke pengadilan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (“UU PPHI”).
6.
Hal yang seharusnya di lakukan :
Berdasarkan pada kasus diatas, seharusnya PHK secara
sepihak tidak dilakukan. Jikalaupun harus terjadi maka harus terdapat negosiasi
keduah belah pihak anatara perusahaan dengan karyawan. Dan jika hasil
perundingan, mengharuskan karyawan mengalami phk maka perusahaan harus mampu
memenuhi segala kewajiban seperti memberikan tunjangan PHK, pesangon, dsb. Karna
jika hal tersebut dilanggar, maka akan berakibat pada pelanggaran
prinsip-prinsip etika bisnis yang ada seperti :
1.
prinsip keadilan
dalam hal ini dalam kegiatan bisnis semua pihak yang
terlibat dalam bisnis yang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama
sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan prinsip etika bisnis ini, semua pihak
yang terlibat harus berkontribusi pada keberhasilan bisnis yang dilakukan, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Prinsip keadilan mendorong semua pihak
agar dapat terlibat dalam bisnis, baik hubungan internal maupun hubungan
eksternal. Setiap pihak akan menerima perlakuan yang sama sesuai dengan haknya
masing-masing. Sementara dalam kasus ini hak-hak karyawan tidak dipenuhi
semestinya.
2.
Prinsip Saling Menguntungkan
Prinsip saling menguntungkan berarti bahwa kegiatan bisnis
yang dilakukan harus dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Sementara dalam
hal ini terjadi keputusan secara sepihak, sehingga karyawan yang mengalami
dampanya.
Dan adapun
pelanggaran ini dapat berakibat pada penurunan citra perusahaan, kehilangan
kepercayaan perusahaan terhadap konsumen, hingga dapat berakibat pada sanksi
denda serta dapat berujung pada penutupan usaha.
5. STUDI
KASUS 5
Kasus Pelanggaran Etika Bisnis oleh PT
Megasari Makmur
7 April 2019 13:34 Diperbarui: 7 April 2019 13:38
45605 0 0
Kita tahu bahwa
pada saat ini banyak sekali produk
produk obat nyamuk, salah satunya yang terkenal
adalah Obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT.Megasari Makmur.
Obat nyamuk ini pun pertama kali di produksi pada tahun 1996. Selain obat
nyamuk, PT Megasari Makmur juga memproduksi banyak produk lainnya seperti
pengharum ruangan dan juga tisu basah. Obat nyamuk HIT ini pun terkenal sebagai
obat nyamuk yang murah dan lebih tahan lama. Oleh sebab itulah obat nyamuk HIT
ini terkenal di kalangan masyarakat indonesia.
Obat anti-nyamuk
HIT yang diproduksi oleh PT. Megarsari Makmur dinyatakan ditarik dari peredaran
karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan terhadap manusia. Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi
Pestisida, telah melakukan inspeksi di pabrik HIT dan menemukan penggunaan
pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah,
gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker
hati dan kanker lambung.
HIT yang
promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya
karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan
Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat
anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot)
dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan
melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada
tanggal 11 Juni 2006. Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang
mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara
yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Berdasarkan studi
kasus diatas, dapat disimpulkan beberapa informasi sebagai berikut :
1.
Apa pelanggaran etika yang terjadi : Kasus Pelanggaran Etika Bisnis oleh PT
Megasari Makmur
2.
Siapa yang dirugikan : masyarakat
3.
Jenis Pelanggaran : Pelanggaran etika terhadap Kualitas
Produk
4.
Dasar Hukum Pelanggaran :
Jika dilihat
menurut UUD, PT Megarsari Makmur sudah melanggar beberapa pasal, yaitu :
Pasal 4, hak
konsumen adalah :
Ayat 1 :
"hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa".
Ayat 3 :
"hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa".
Pasal 7,
kewajiban pelaku usaha adalah :
Ayat 2 :
"memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan"
Pasal 8
Ayat 1 :
"Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan"
Ayat 4 :
"Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran"
Pasal 19 :
Ayat 1 :
"Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan"
Ayat 2 :
"Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku"
Ayat 3 :
"Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi"
5.
Seharusnya :
Perusahaan tidak menciptakan produk yang mengandung bahan
berbahaya sekalipun dalam konsep agar produk tersebut dapat memiliki kualitas
produk yang handal. Pembuatan produk haruslah terlebih dahulu di analisa baik
dari segi bahan baku pembuatan, design, hingga dampak / efek dari produk yang
telah kita ciptakan. Jika sudah terlanjur maka hal yang harus di lakukan cabut
edar penjualan, penggantian produk dengan produk baru yang lebih inovatif dan
lebih safety.
No comments:
Post a Comment